Monday, June 30, 2014

Apple - iPhone 5s



 iPhone 5s


iPhone 5s is purposefully imagined. Meticulously considered. Precision crafted. It’s not just a product of what’s technologically possible. But what’s technologically useful. It’s not just what’s next. But what should be next

Pemburu Harta Karun Kapal Karam 

 

 

 

 

 

 

 


  PHOTHO: hikmawansp.wordpress.com

 

Pengangkatan isi muatan kapal karam marak terjadi sejak awal tahun 1960-an. Pengangkatan illegal awalnya dilakukan oleh pelat-pelaut tradisional. Mereka menyelam dengan selang oksigen di beberapa tempat yang diketahui terdapat kapal karam seperti di Teluk Tuban di perairan Rembang, Jepara, Cilacap, Kepulauan Seribu, Subang, Indramayu, Cirebon, Bangka Belitung, Natuna, Ambon, Ternate, dan Tidore.
Di tahun 1985-1986, Lembaga Ekspdisi Pemanfaatan Umum Harta Pusaka Rakyat Indonesia bekerjasama dengan Swartberg Limited, perusahaan asal Hongkong melakukan pengangkatan muatan kapal Geldermalsen milik VOC Belanda di Karang Heliputan, Tanjungpinang. Namun entah bagaimana, perusahaan yang dipimpin Michael Hatcher itu bisa meloloskan 126 emas lantakan bersama 160.000 keramik Dinasti Ming dan Qing ke Belanda. Di sana, benda itu dilelang dengan harga fantastis, US$ 17 juta. Harga itu membuat mata pemburu harta karun terbelalak, dan setelahnya perburuan di perairan Indonesia kian marak.
Tahun 1997 kasus serupa kembali terjadi. Kali ini, perusahaan miliknya Heatcher , United Sub Sea Services United, bekerjasama dengan PT Prasarana Cakrawala Persada mengangkat isi kapal Tek Sing Cargo, di Selat Gelasa, Pulau Bangka. Pengangkatan ini berdasarkan surat izin kerjasama yang dikeluarkan oleh Panitia Nasional. Duta Besar Indonesia di Australia menerima surat dari Australian Fedral Police, bahwa pada 17 Februari 2000, ada 43 kontainer berisi keramik yang datang dari Indonesia. Benda yang berjumlah 450.000 keping itu datang tanpa diketahui oleh instansi Indonesia. dari 43 kontainer, 36 kontainer telah dikirim ke Stuggart Jerman untuk dilelang, tanpa bisa dicegah.
Hingga hari ini, dari catatan Panitia Nasional Benda Berharga Asal Muatan Kapal yang Tenggelam (BMKT) Ditjen Kelautan dan Perikanan, ada 10 titik lokasi pengangkatan benda muatan kapal tenggelam yang telah dilakukan secara berizin. Ke 10 tempat itu adalah di laut Cirebon, Kerawang, Bintan, Bangka Belitung Timur, Natuna, Teluk Buaya, Jepara, Karang Cina dan Pelanakan. Barang-barang itu disimpan di beberapa lokasi, hingga saat ini belum lagi dilelang.
Pada 5 Mei 2009, pemerintah pernah melelang harta karun yang diangkat dari perairan Cirebon di ballroom kantor Kementerian Kelautan dan Perikanan. Lelang harta yang diangkat oleh PT Cosmix Underwater Research Ltd., perusahaan yang ditunjuk pemerintah tersebut hanya berlangsung 5 menit. Pasalnya lelang itu tak dihadiri oleh calon pembeli. Padahal, itu adalah lelang legal pertama atas arkeologi bawah laut di Indonesia.
Ketidakhadiran calon pembeli diyakini karena beratnya prasyarat untuk mengikuti lelang. Menteri Keuangan mengharuskan peserta lelang untukmenyetorkan deposit awal Rp 154 miliar. Harga itu adalah 20 persen dari harga yang ditawarkan atas seluruh harta laut Cirebon tersebut. Jumlahnya, saat itu adalah Rp 720 miliar, atau setara dengan US$ 80 juta.
Promosi atas pelelangan itu juga sangat kurang. Gudang Pamulang, tempat penyimpanan harta tersebut juga tertutup untuk calon peserta lelang yang tidak menyetorkan deposit. Harga barang juga dipaketkan secara keseluruhan, meski banyak barang yang sama.
Hingga saat ini, barang tersebut bersama 9 barang yang telah diangkat belum lagi dilelang. Bekas Menteri Kelautan dan Perikanan, Fadel Muhammad telah bertemu pejabat Perserikatan Bangsa-Bangsa urusan kebudayaan, UNESCO, untuk membahas persoalan arkeologi laut tersebut. Pemerintah saat itu menyatakan membatalkan penjualan artefak tersebut. Meski demikian, hingga kini proses untuk pengusahaan pelelangan tetap berlanjut.
Rusman, Panitia Nasional BMKT menyebutkan, belum dilelangnya barang itu karena terbentur dengan Undang-undang No 11 tahun 2010 tentang cagar budaya. Arkeologi bawah laut tercatat sebagai benda cagar budaya yang tidak dapat dibawa ke luar dari Indonesia. “Sudah ada beberapa yang tertarik untuk proses pelelangan. Tapi kita tunggu keputusan diknas untuk dijual. Di Indonesia susah lakunya,” kata Rusman.
Semua barang yang akan dilelang, kata Rusman harus terlebih dahulu dinilai oleh tenaga ahli. Hasil penilaian benda arkeologi tersebut hanya berlaku 6 bulan. “Harus ada kepastian sebelum dinilai. Masa berlakunya singkat dan membutuhkan biaya yang besar,” kata Rusman.
Ribuan harta tersebut kini bertumpuk di beberapa gudang penyimpanan tanpa bisa dimanfaatkan. Di lautan, penjarah terus merajalela.Terlalu luasnya zona laut dan kontrol yang kurang ketat di lokasi membuat benda-benda arkeologi bawah laut ini rawan pencurian.
Kasus terbaru terjadi ke Perairan Bintan Kepulauan Riau, awal Januari lalu. Kapal Motor Trianis dipergoki oleh kapal perang Angkatan Laut ketika tengah membawa 500 lebih keramik abad ke 13 dari Dinasti Ming. Sampai saat ini, belum jelas di titik koordinat mana barang tersebut diangkat. Beberapa pihak termasuk Pannas BMKT menduga hingga kini di lokasi tersebut para nelayan tetap beroperasi mengangkat harta karun laut tersebut.
Kasus di Kepulauan Riau tersebut pun patut diduga menjadi lahan bermain oknum aparat. Jika awal penangkapan Lamtamal IV Tanjungpinang melaporkan penangkapan 546 unit benda cagar budaya kemudian, jumlah itu dibantah kembali. Kepala Dinas Penerangan Lamtamal IV, Mayor Pontoh mengatakan wartawan keliru menulis. “Yang 500 lebih itu nomor lambung KRI. Semuanya sekitar 400-an,” katanya saat dihubungi dari Jakarta. Total semua yang diserahkan kepada Dinas Kebudayaan Kepulauan Riau adalah 402 keramik.
Salman Lubis, nahkoda Kapal Motor Trianis mengaku jika ia bersama delapan awak kapal hanya mencari ikan. Sedangkan keramik yang sebagian pecah tersebut ditemukan tersangkut di jaring. Iming-iming nilai jual yang tinggi membuat para penjarah terus beraksi.
 [http://hamzahhasballah.wordpress.com/2014/06/12/pemburu-harta-karun-kapal-karam/]
Hamzah Hasballah

 

 

Riwayat Kapal Karam di Nusantara

Riwayat Kapal Karam di Nusantara
 

Kapal Belanda itu dihempas badai. Tak terlalu jauh dari daratan. Ombak besar menghantam lambung kapal layar, kemudian oleng menabrak karang. Orang-orang berlari menyelamatkan diri. Peristiwa itu terjadi di tahun 1835, jauh sebelum Indonesia ada, dan direkam dalam sebuah lukisan.
Kejadian tersebut terjadi di perairan Lacipara, di mulut Selat Bangka, sebuah gugusan karang dekat dengan daratan Sumatera. Karamnya kapal Belanda tersebut adalah salah satu kejadian dari rentetan kejadian karamnya ribuan kapal di lautan Nusantara, sejak ratusan tahun silam.
Posisi Indonesia yang 70 persennya adalah wilayah perairan menjadi sangat strategis. Letaknya di antara benua Asia dan Australia serta Samudera Hindia dan Pasific. Teritorial itu menghubungkan Indonesia dengan negara-negara di wilayah Eropa, Afrika, Timur tengah, Asia Selatan dan Asia Timur. Indonesia juga dikenal sebagai salah satu daerah yang kaya bahan rempah-rempah. Karenanya, sejak zaman dulu, perairan Indonesia, sebagai persimpangan lalulintas internasional menjadi salah satu perairan yang padat dan selalu dilayari kapal-kapal dagang.
Diperkirakan, sejak abad ke 10, ada ribuan kapal Cina, Belanda (VOC), Inggris, Portugis, Spanyol, dan kapal dagang dalam negeri yang karam. Kapal-kapal itu mengangkut banyak rempah dan beragam barang dagangan hingga emas ke Indonesia.
UNESCO mencatat, ada 5 juta kapal karam di seluruh dunia. Sekitar 500.000, atau 10 persen berada di lautan Indonesia. Sedangkan 50.000 di antaranya mengandung harta bernilai yang berusia ribuan tahun, tidak sedikit yang memuat harta berharga bernilai tinggi. Apabila terdapat kapal tenggelam di suatu wilayah dalam tempo lama dan tidak ada pemiliknya maka kapal beserta muatannya menjadi milik pemerintahan di wilayah karamnya kapal.
Sementara data Penelitian dan Pengembangan Kementerian Kelautan dan Perikanan, di perairan Indonesia terdeteksi 463 titik kapal tenggelam yang bermuatan harta karun. Sejarawan Cina menyatakan, sekitar 30.000 kapal Cina yang melakukan perlayaran tidak pernah kembali ke pelabuhan asalnya. Sebagian kapal itu berlayar ke Indonesia. kapal-kapal itu banyak berlayar ke Timur dan Barat Sumatera, Selat Sunda, Pantai Utara Jawa, Selat Karimata, dan Selat Makassar.
Ada beberapa faktor kapal karam di perairan Nusantara. Bahaya yang ditimbulkan alam, di mana, banyak pelaut tidak bisa membaca keadaan geografis lautan Nusantara. Faktor perang memperebutkan wilayah perdagangan dan hasrat menguasai perairan juga membuat banyak kapal yang kandas ke dasar lautan. Di samping juga kelalaian dan kesengajaan seperti membakar kapal.
Sekitar abad 15, pertempuran laut dan sungai kerap terjadi di perairan Nusantara. Kerajaan lokal dan pelaut Eropa seperti Portugis, Inggris dan VOC Belanda yang kerap bentrok dengan kerajaan lokal. Persaingan dagang sebagai komoditi pasar menjadi pokok utama persengketaan. Karena itu, kapal dagang pada masa itu selalu dikawal kapal yang dilengkapi persenjataan lengkap.
Selain pertempuran pendatang dengan pribumi, terjadi juga pertempuran antara sesamapendatang yang memperebutkan wilayah penghasil rempah dan jalur pelayaran laut. Belanda dan Perancis tercatat pernah bertempur di perairan Makassar pada 1660, Banten pada 26 Desember 1601, dan di Selat Malakapada 1636. Kerajaan Palembang juga pernah bertempur di sungai dengan VOC Belanda pada November 1659. Tahun 1891 dan 1821 Kerajaan Palembang-Darussalam juga bertempur dengan Kerajaan Belanda di sungai Palembang.
Dalam buku Kapal Karam abad ke-10 di Laut Jawa Cirebon terbitan Badan Nasional Benda Berharga Asal Kapal yang Tenggelam (BMKT) dicatat, kapal-kapal yang melintasi perairan Nusantara sejak abad 10 adalah kapal-kapal dari Eropa dan Asia. Mereka yang dari Asia seperti Cina adalah adalah pedagang. Sementara yang dari Eropa seperti Belanda dan Portugis adalah pelaut-pelaut yang dicap penjajah yang berperang memperebutkan wilayah pelayaran dan jalur ekspor-impor hasil bumi.
Nusantara yang dulunya berbentuk kerajaan-kerajaan juga menguasai ilmu pengetahuan laut. Karena itu, biasanya, kapal-kapal asing tersebut memperkerjakan pelaut lokal (mualim) sebagai pemandu. Sebagian yang tidak memakai jasa mualim lokallah yangkemudian diperkirakan karam di perairan Nusantara.
Diperkirakan, para pelaut Nusantara telah menguasi ilmu navigasi sejak lama. Mereka disebutkan telah mengenal peta. Sebuah catatan Portugis abad 16 mencatatkan hal itu. Peta tentang Nusantara pertama dibuat oleh Fransisco Rodriguez (1512). Peta bertuliskan aksara Jawa itu karam di Selat Malaka, dikapal Albuquerque saat hendak dikirimkan kepada Raja Portugal. Bisa jadi, pengetahuan ilmu peta Portugis di wilayah Nusantara didasarkan pada peta-peta yang dibuat pelaut lokal.
Bambang Budi Utomo, dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional menuliskan, sejarah bahari Nusantara dimulai jauh sebelum bangsa Eropa menemukan daratan Asia. Sejak abad ke-4, hubungan luar negeri pertama terjalin antara pelaut Nusantara dengan saudagar Arab dan India. Jalur yang dibuat ekspor komuditi sudah digarap sejak saat itu. Dari India, rempah Nusantara kemudian dibawa melalui jalan darat ke Timur Tengah hingga ke Eropa.
I-Tsing, seorang biksu pengembara dari Tiongkok yang singgah ke Sriwijaya (Palembang) pada abad ke-7 menyebutkan, pelayaran ke Tiongkok dilakukan oleh kapal-kapal Sriwijaya. Mereka adalah pelaut ulung yang berperan membuka jalur pelayaran timur ke Tiongkok dan jalur barat ke India, Timur Dekat dan Afrika. Sejak saat itu, perdagangan antar kerajaan terjadi. Dari Nusantara dikirim komuditi rempah, dan Tiongkok kemudian membawa keramik-keramik ke Nusantara yang meliputi Jawa, Sumatera dan sebagian Kalimantan.
Perdagangan antar wilayah tersebut terbangun hingga akhir abad ke-10. Kolonialisme Eropa yang kemudian masuk mulai menguasai wilayah perairan, perang memperebutkan jalur perdagangan. Tercatat bangsa Portugis yang pertama masuk ke Malaka, yaitu sekitarabad ke 15. Sejak saat itu, perang membuat banyak kapal karam di perairan Nusantara. 


 Hamzah Hasballah
http://hamzahhasballah.wordpress.com/2014/06/13/riwayat-kapal-karam-di-nusantara/