Pemburu Harta Karun Kapal Karam
PHOTHO: hikmawansp.wordpress.com
Pengangkatan isi muatan kapal karam marak terjadi sejak awal tahun
1960-an. Pengangkatan illegal awalnya dilakukan oleh pelat-pelaut
tradisional. Mereka menyelam dengan selang oksigen di beberapa tempat
yang diketahui terdapat kapal karam seperti di Teluk Tuban di perairan
Rembang, Jepara, Cilacap, Kepulauan Seribu, Subang, Indramayu, Cirebon,
Bangka Belitung, Natuna, Ambon, Ternate, dan Tidore.
Di tahun 1985-1986, Lembaga Ekspdisi Pemanfaatan Umum Harta Pusaka
Rakyat Indonesia bekerjasama dengan Swartberg Limited, perusahaan asal
Hongkong melakukan pengangkatan muatan kapal Geldermalsen milik VOC
Belanda di Karang Heliputan, Tanjungpinang. Namun entah bagaimana,
perusahaan yang dipimpin Michael Hatcher itu bisa meloloskan 126 emas
lantakan bersama 160.000 keramik Dinasti Ming dan Qing ke Belanda. Di
sana, benda itu dilelang dengan harga fantastis, US$ 17 juta. Harga itu
membuat mata pemburu harta karun terbelalak, dan setelahnya perburuan di
perairan Indonesia kian marak.
Tahun 1997 kasus serupa kembali terjadi. Kali ini, perusahaan
miliknya Heatcher , United Sub Sea Services United, bekerjasama dengan
PT Prasarana Cakrawala Persada mengangkat isi kapal Tek Sing Cargo, di
Selat Gelasa, Pulau Bangka. Pengangkatan ini berdasarkan surat izin
kerjasama yang dikeluarkan oleh Panitia Nasional. Duta Besar Indonesia
di Australia menerima surat dari Australian Fedral Police, bahwa pada 17
Februari 2000, ada 43 kontainer berisi keramik yang datang dari
Indonesia. Benda yang berjumlah 450.000 keping itu datang tanpa
diketahui oleh instansi Indonesia. dari 43 kontainer, 36 kontainer telah
dikirim ke Stuggart Jerman untuk dilelang, tanpa bisa dicegah.
Hingga hari ini, dari catatan Panitia Nasional Benda Berharga Asal
Muatan Kapal yang Tenggelam (BMKT) Ditjen Kelautan dan Perikanan, ada 10
titik lokasi pengangkatan benda muatan kapal tenggelam yang telah
dilakukan secara berizin. Ke 10 tempat itu adalah di laut Cirebon,
Kerawang, Bintan, Bangka Belitung Timur, Natuna, Teluk Buaya, Jepara,
Karang Cina dan Pelanakan. Barang-barang itu disimpan di beberapa
lokasi, hingga saat ini belum lagi dilelang.
Pada 5 Mei 2009, pemerintah pernah melelang harta karun yang diangkat
dari perairan Cirebon di ballroom kantor Kementerian Kelautan dan
Perikanan. Lelang harta yang diangkat oleh PT Cosmix Underwater
Research Ltd., perusahaan yang ditunjuk pemerintah tersebut hanya
berlangsung 5 menit. Pasalnya lelang itu tak dihadiri oleh calon
pembeli. Padahal, itu adalah lelang legal pertama atas arkeologi bawah
laut di Indonesia.
Ketidakhadiran calon pembeli diyakini karena beratnya prasyarat untuk
mengikuti lelang. Menteri Keuangan mengharuskan peserta lelang
untukmenyetorkan deposit awal Rp 154 miliar. Harga itu adalah 20 persen
dari harga yang ditawarkan atas seluruh harta laut Cirebon tersebut.
Jumlahnya, saat itu adalah Rp 720 miliar, atau setara dengan US$ 80
juta.
Promosi atas pelelangan itu juga sangat kurang. Gudang Pamulang,
tempat penyimpanan harta tersebut juga tertutup untuk calon peserta
lelang yang tidak menyetorkan deposit. Harga barang juga dipaketkan
secara keseluruhan, meski banyak barang yang sama.
Hingga saat ini, barang tersebut bersama 9 barang yang telah diangkat
belum lagi dilelang. Bekas Menteri Kelautan dan Perikanan, Fadel
Muhammad telah bertemu pejabat Perserikatan Bangsa-Bangsa urusan
kebudayaan, UNESCO, untuk membahas persoalan arkeologi laut tersebut.
Pemerintah saat itu menyatakan membatalkan penjualan artefak tersebut.
Meski demikian, hingga kini proses untuk pengusahaan pelelangan tetap
berlanjut.
Rusman, Panitia Nasional BMKT menyebutkan, belum dilelangnya barang
itu karena terbentur dengan Undang-undang No 11 tahun 2010 tentang cagar
budaya. Arkeologi bawah laut tercatat sebagai benda cagar budaya yang
tidak dapat dibawa ke luar dari Indonesia. “Sudah ada beberapa yang
tertarik untuk proses pelelangan. Tapi kita tunggu keputusan diknas
untuk dijual. Di Indonesia susah lakunya,” kata Rusman.
Semua barang yang akan dilelang, kata Rusman harus terlebih dahulu
dinilai oleh tenaga ahli. Hasil penilaian benda arkeologi tersebut hanya
berlaku 6 bulan. “Harus ada kepastian sebelum dinilai. Masa berlakunya
singkat dan membutuhkan biaya yang besar,” kata Rusman.
Ribuan harta tersebut kini bertumpuk di beberapa gudang penyimpanan
tanpa bisa dimanfaatkan. Di lautan, penjarah terus merajalela.Terlalu
luasnya zona laut dan kontrol yang kurang ketat di lokasi membuat
benda-benda arkeologi bawah laut ini rawan pencurian.
Kasus terbaru terjadi ke Perairan Bintan Kepulauan Riau, awal Januari
lalu. Kapal Motor Trianis dipergoki oleh kapal perang Angkatan Laut
ketika tengah membawa 500 lebih keramik abad ke 13 dari Dinasti Ming.
Sampai saat ini, belum jelas di titik koordinat mana barang tersebut
diangkat. Beberapa pihak termasuk Pannas BMKT menduga hingga kini di
lokasi tersebut para nelayan tetap beroperasi mengangkat harta karun
laut tersebut.
Kasus di Kepulauan Riau tersebut pun patut diduga menjadi lahan
bermain oknum aparat. Jika awal penangkapan Lamtamal IV Tanjungpinang
melaporkan penangkapan 546 unit benda cagar budaya kemudian, jumlah itu
dibantah kembali. Kepala Dinas Penerangan Lamtamal IV, Mayor Pontoh
mengatakan wartawan keliru menulis. “Yang 500 lebih itu nomor lambung
KRI. Semuanya sekitar 400-an,” katanya saat dihubungi dari Jakarta.
Total semua yang diserahkan kepada Dinas Kebudayaan Kepulauan Riau
adalah 402 keramik.
Salman Lubis, nahkoda Kapal Motor Trianis mengaku jika ia bersama
delapan awak kapal hanya mencari ikan. Sedangkan keramik yang sebagian
pecah tersebut ditemukan tersangkut di jaring. Iming-iming nilai jual
yang tinggi membuat para penjarah terus beraksi.
[http://hamzahhasballah.wordpress.com/2014/06/12/pemburu-harta-karun-kapal-karam/]
Hamzah Hasballah
No comments:
Post a Comment